Tuesday 29 May 2012

Perempuan di Ufuk Fajar



“Panggil saya bu Fajar”, ucap beliau dengan logat Sunda kental seraya membenahi warung nasi sederhana miliknya. Saya memang kerap kali bertandang ke warung nasi sederhana milik Bu Fajar ketika rasa lapar menghampiri saya setelah jam- jam kuliah. Jika dirunut kembali, kehidupan mahasiswi perantaua, bisa dibilang serba kekurangan, apalagi jika berurusan dengan perut dan mari kaitkan dengan akhir bulan. Warung nasi Bu Fajar adalah penyelamat saya melewati tahun demi tahun di Jawa Barat, bahkan beliau kerap kali membiarkan kami berhutang disaat uang bulanan mulai menipis. Ia memang hidup serba kekurangan, namun tidak takut merugi. Beliau anggap kami sebagai anak, sosoknya sangat keibuan, mampu menjadi pengobat rindu saat jauh dari rumah. 
Warung milik Bu Fajar sederhana sekali, terhimpit diantara megah dan besarnya bangunan kos-kosan, membuat warungnya terlihat kecil dan rapuh, dengan cat yang sudah memudar dan pendar warna lampu yang temaram. Rumah yang ia tinggali memang jauh dari nyaman, kecil, sempit, dan beratap rendah. Rumah yang selalu ia pertahankan meskipun beberapa pihak memaksanya menjual rumah untuk pelebaran daerah kos-kosan. Ruang depan. ia sulap menjadi warung nasi, sesaat setelah memutuskan untuk berhenti bekerja sebagai tukang cuci, saat ia mengaku kalah bersaing dengan bisnis laundry. Sakit punggung dan kaki sudah biasa, akibat berpuluh tahun menjadi tukang cuci, hanya saja, suami yang tidak berpenghasilan memaksa Bu Fajar terus memeras keringat.  
Plang sederhana bertuliskan warung nasi Fajar, bergoyang goyang diterpa angin setiap kali saya melewatinya. “kenapa nama warungnya Fajar, Bu?” tanya saya, memecah kesunyian pagi. Bu Fajar menoleh lalu ia tersenyum, memperlihatkan garis garis wajah yang tengah menua. “Pasti ambil dari nama ibu ya?” lanjut saya lagi. Beliau menggelengkan kepala, “Fajar itu sebuah langkah awal”, jawabnya seketika. Saya terdiam medengar jawaban sarat makna dari perempuan yang bahkan tidak menyelesaikan pendidikan sekolah dasar. Ia melanjuti, “Ibu kan keluar rumah saat masih Fajar, saat matahari belum kelihatan, Ibu sudah pergi ke pasar, jadi bisa dibilang Fajar itu langkah awal Ibu berjualan dan memulai hari”. Merasa terilhami oleh kata sarat makna beliau, saya menyadari bahwa ia juga telah terilhami oleh Fajar dari caranya memandang sebagai sebuah awalan, seakan seakan beliau mengisyaratkan kepada saya untuk memandang pagi sebagai sebuah langkah baru, lupakan saja hari buruk yang terjadi kemaren. Entah dari mana ia memperoleh pemahaman sarat makna dari kata sesederhana fajar, Saya terilhami untuk menyebut dirinya sebagai perempuan di ufuk fajar, perempuan sekaligus pahlawan yang bekerja sejak pagi pagi sekali demi keluarga, Ia mengartikan Fajar dengan cara pandang yang berbeda, sebagaimana beliau mengakui bahwa nama sebenarnya adalah Ani, tapi lebih senang di panggil Bu Fajar. “Panggil saja Bu Fajar,” ucapnya berulang kali.  
Perempuan di ufuk Fajar, yang harus bangun pagi pagi sekali untuk bekerja jumlahnya berkisar jutaan. Sudah menjadi hal yang lumrah jika perempuan ikut menanggung perekonomian keluarga. Terjatuh dan terpleset di sektor informal itu sudah biasa, Meskipun warung nasi merupakan usaha dengan modal relatif rendah dan tidak memerlukan keterampilan khusus namun usaha ini menjadi jalan bagi perempuan untuk masuk ke sektor publik rumah tangga. Masuknya perempuan ke sektor publik merupakan tanda penting bahwa peran perempuan dalam rumah tangga mengalami perkembangan dengan menunjukan kemandirian dalam menambah pendapatan rumah tangga. Karena Ketika ber-rumah tangga pemenuhan kebutuhan hidup menjadi lebih mendesak, tidak lagi berbicara mengenai satu individu mengingat setiap anggota rumah tangga memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi. 
Sektor informal dinilai dapat menampung masyarakat yang tidak mampu bersaing dalam sektor formal yang memerlukan sejumlah keahlian. Istilah sektor informal diperkenalkan pertama kali oleh Keith Hart, seorang antropolog Inggris pada tahun 1973. Menurutnya yang dimaksud dengan sektor informal adalah kumpulan pedagang dan penjual jasa kecil yang dari segi produksi tidak begitu menguntungkan meskipun menunjang kehidupan bagi penduduk yang terbelenggu kemiskinan, Bu Fajar boleh saja terbelenggu oleh kemisikinan, namun ia tidak menyerah begitu saja. Ia bercita cita membiayai sekolah anaknya hingga lulus SMA. 
Bu Fajar kecil menaruh harapan besar mengenai masa depan, salah satunya adalah bisa jalan jalan ke Jakarta. Saya mengerutkan kening. “Disini saja bu” ucap saya. “Fajar di Jakarta tidak seindah fajar disini.”

No comments:

Post a Comment