Thursday 31 May 2012

Everyone Have Their Own "Adele Song"

 Anara, memainkan rambut bergelombangnya. Menatap sejurus pada laptop, ia pun sesekali mengecap secangkir kopi pahit. Punggungnya menoleh ke jendela, mencoba mencari kekuatan dalam hujan yang tengah mengguyur Jakarta. Terdiam dalam kesunyian, Anara membaca kembali deretan kata yang telah ia tuliskan untuk si wajah kotak. Ia meragu. Icon email menyala-yala riang, seakan-akan menantang Anara untuk  menggerakkan telunjuknya pada icon sending.


Compose to: Si muka kotak
From: Anara
Time: 31 May. 17.00
...................................................................................................
title: Everyone Have Their Own "Adele Song"



"Never mind i'll find someone like you"
"i wish nothing but the best for you"


Seharusnya, tidak usah mengetik nama kamu dalam situs facebook. Jakarta sedang hujan, seperti pertemuan pertama kita 2 tahun yang lalu, aku berdiri menunggu dalam hujan dan kamu membawa payung besar penuh harapan. Tidak semestinya aku memejamkan mata sesaat tadi, hanya untuk merasakan semilir angin masa lalu meniup niup wajah ku lagi. Aku menutup pintu rapat, agar tungku pemanas bisa menghangatkan raga kosong yang tersisa setelah kamu pergi, tungku yang menjaga ku tetap waras. Namun beberapa saat lalu, tembok yang sudah ku susun rapih, pijakan yang kembali kokoh, seketika hancur dan membuncah kembali, setelah aku bermain-main dengan nama mu, dalam kotak search di situs facebook. Sebodoh itu kah aku, jika masih mengharapkan kau sendiri saja di luar sana?

 "i heard that you settle down"
 " that you find a girl"
 " that you married now"


Kekecewaan tergambar jelas dalam wajah, aku terseret lagi ke dalam jurang gelap,  selalu saja begitu, jika itu mengenai kamu dan wanita-wanita baru mu. Raga ku menjadi beku, darah mengalir deras. Potongan demi potongan saat kita berada dalam satu masa, diputar kembali oleh memori otak, selalu saja menghantui. Kau, si wajah kotak yang sempurna. Hadiah dari Tuhan, yang ku sia-siakan. 

"Nothing compare"
"my regret and mistake"

Selalu saja percaya bahwa aku tidak membutuhkan kesempurnaan dalam diri mu, lantas aku berlari pergi ketakutan.  Berlari mengejar langit, meskipun jari-jari tangan mu memaksa ku menetap di bumi dan padang rumput indah yang kau janjikan. Benar, aku mencintai mu seperti hawa yang hanya menatap kepada Adam saja. Memang benar sedalam itu,  hanya saja, dahulu aku begitu patuh pada emosi, amarah, dan keraguan. Aku bisa apa? Aku masih muda sekali waktu itu..

"sometimes it last in love"
"but sometimes its hurts instead"

Aku menatap nanar, ketika perempuan cantik itu memeluk mu erat. Sungguh tidak adil, ia  menemui mu di masa sekarang, ketika kematangan emosi mempermudah semuanya. Biarkan saja, semilir angin membawa ku kembali ke masa dengan mu, sebentar saja. 

"i hope you see my face
that you will remind that..
for me isn't over yet"


...................................................................................................................................................

Anara masih saja termenung memandang hujan. Icon email masih menyala-yala liar. Ia beranjak pergi, setelah merapihkan kembali riasan mata pada wajah yang sembab. Mata bulatnya mencari-cari satu icon.

Save as to draft

click




Tuesday 29 May 2012

Perempuan di Ufuk Fajar



“Panggil saya bu Fajar”, ucap beliau dengan logat Sunda kental seraya membenahi warung nasi sederhana miliknya. Saya memang kerap kali bertandang ke warung nasi sederhana milik Bu Fajar ketika rasa lapar menghampiri saya setelah jam- jam kuliah. Jika dirunut kembali, kehidupan mahasiswi perantaua, bisa dibilang serba kekurangan, apalagi jika berurusan dengan perut dan mari kaitkan dengan akhir bulan. Warung nasi Bu Fajar adalah penyelamat saya melewati tahun demi tahun di Jawa Barat, bahkan beliau kerap kali membiarkan kami berhutang disaat uang bulanan mulai menipis. Ia memang hidup serba kekurangan, namun tidak takut merugi. Beliau anggap kami sebagai anak, sosoknya sangat keibuan, mampu menjadi pengobat rindu saat jauh dari rumah. 
Warung milik Bu Fajar sederhana sekali, terhimpit diantara megah dan besarnya bangunan kos-kosan, membuat warungnya terlihat kecil dan rapuh, dengan cat yang sudah memudar dan pendar warna lampu yang temaram. Rumah yang ia tinggali memang jauh dari nyaman, kecil, sempit, dan beratap rendah. Rumah yang selalu ia pertahankan meskipun beberapa pihak memaksanya menjual rumah untuk pelebaran daerah kos-kosan. Ruang depan. ia sulap menjadi warung nasi, sesaat setelah memutuskan untuk berhenti bekerja sebagai tukang cuci, saat ia mengaku kalah bersaing dengan bisnis laundry. Sakit punggung dan kaki sudah biasa, akibat berpuluh tahun menjadi tukang cuci, hanya saja, suami yang tidak berpenghasilan memaksa Bu Fajar terus memeras keringat.  
Plang sederhana bertuliskan warung nasi Fajar, bergoyang goyang diterpa angin setiap kali saya melewatinya. “kenapa nama warungnya Fajar, Bu?” tanya saya, memecah kesunyian pagi. Bu Fajar menoleh lalu ia tersenyum, memperlihatkan garis garis wajah yang tengah menua. “Pasti ambil dari nama ibu ya?” lanjut saya lagi. Beliau menggelengkan kepala, “Fajar itu sebuah langkah awal”, jawabnya seketika. Saya terdiam medengar jawaban sarat makna dari perempuan yang bahkan tidak menyelesaikan pendidikan sekolah dasar. Ia melanjuti, “Ibu kan keluar rumah saat masih Fajar, saat matahari belum kelihatan, Ibu sudah pergi ke pasar, jadi bisa dibilang Fajar itu langkah awal Ibu berjualan dan memulai hari”. Merasa terilhami oleh kata sarat makna beliau, saya menyadari bahwa ia juga telah terilhami oleh Fajar dari caranya memandang sebagai sebuah awalan, seakan seakan beliau mengisyaratkan kepada saya untuk memandang pagi sebagai sebuah langkah baru, lupakan saja hari buruk yang terjadi kemaren. Entah dari mana ia memperoleh pemahaman sarat makna dari kata sesederhana fajar, Saya terilhami untuk menyebut dirinya sebagai perempuan di ufuk fajar, perempuan sekaligus pahlawan yang bekerja sejak pagi pagi sekali demi keluarga, Ia mengartikan Fajar dengan cara pandang yang berbeda, sebagaimana beliau mengakui bahwa nama sebenarnya adalah Ani, tapi lebih senang di panggil Bu Fajar. “Panggil saja Bu Fajar,” ucapnya berulang kali.  
Perempuan di ufuk Fajar, yang harus bangun pagi pagi sekali untuk bekerja jumlahnya berkisar jutaan. Sudah menjadi hal yang lumrah jika perempuan ikut menanggung perekonomian keluarga. Terjatuh dan terpleset di sektor informal itu sudah biasa, Meskipun warung nasi merupakan usaha dengan modal relatif rendah dan tidak memerlukan keterampilan khusus namun usaha ini menjadi jalan bagi perempuan untuk masuk ke sektor publik rumah tangga. Masuknya perempuan ke sektor publik merupakan tanda penting bahwa peran perempuan dalam rumah tangga mengalami perkembangan dengan menunjukan kemandirian dalam menambah pendapatan rumah tangga. Karena Ketika ber-rumah tangga pemenuhan kebutuhan hidup menjadi lebih mendesak, tidak lagi berbicara mengenai satu individu mengingat setiap anggota rumah tangga memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi. 
Sektor informal dinilai dapat menampung masyarakat yang tidak mampu bersaing dalam sektor formal yang memerlukan sejumlah keahlian. Istilah sektor informal diperkenalkan pertama kali oleh Keith Hart, seorang antropolog Inggris pada tahun 1973. Menurutnya yang dimaksud dengan sektor informal adalah kumpulan pedagang dan penjual jasa kecil yang dari segi produksi tidak begitu menguntungkan meskipun menunjang kehidupan bagi penduduk yang terbelenggu kemiskinan, Bu Fajar boleh saja terbelenggu oleh kemisikinan, namun ia tidak menyerah begitu saja. Ia bercita cita membiayai sekolah anaknya hingga lulus SMA. 
Bu Fajar kecil menaruh harapan besar mengenai masa depan, salah satunya adalah bisa jalan jalan ke Jakarta. Saya mengerutkan kening. “Disini saja bu” ucap saya. “Fajar di Jakarta tidak seindah fajar disini.”

Saturday 26 May 2012

melihat kuda di tengah kota. jengah

Selepas pulang dr acara nulis bareng penerbit bukune, di kafe buku depok, saya tercengang melihat motor yang hampir saja menabrak saya hanya karena seekor kuda yang ikut terseret di dalam kemacetan  lampu merah lebak bulus, tiba tiba saja kuda itu mengambil jalur kanan. Bayangkan, apa rasanya menjadi kuda berwajah sedih itu, tengok saja, ia mengibas ekor dengan terpaksa, menghirup udara kotor knalpot, terbakar matahari dan ikutan berkeringat di tengah panasnya jakarta. Ia seperti meminta tolong kepada saya, berbisik pelan agar diberikan satu petak rerumputan untuk berpijak kembali pada alam. Menghirup udara bersih perternakan. Tapi apa daya, aku tak mampu berbuat banyak. Aku tercengah, menatap kusir yang memaki mereka, memaksa mereka menghirup asap knalpot dan bermcet macet ria. Aku sadar sekali, kusir itu butuh uang buat menghidupi keluarganya, untuk membiayai tagihan tagihan sadis akibat semakin mahalnya biaya hidup di ibukota. Aku sadar betul hal itu, tapi aku menginginkan keadilan. Bahwa manusia dan binatang harusnya bisa bersinkronisasi. Bahwa binatang membutuhkan habitatnya, sedangkan manusia biarkan saja mereka berpijak di ibukota. Jangan bawa mereka, saya mohon, kembalikan mereka.

Tuesday 15 May 2012


“IFan” Charger Ponsel Tanpa Listrik Dari Belanda


 Apa jadinya jika bumi kita krisis listrik? Sudah pasti harga listrik akan melambung tinggi. Krisis listrik adalah ketakutan terbesar saya karena sebagai penggila ponsel, saya tdak pernah absen menekan tombol untuk keperluan seperti browsing, chatting, email, dan SMS. Andai saja, menekan tombol ponsel sama dengan push-up satu kali, mungkin saya sudah selangsing Miss Bette Franke, model ternama asal Belanda. Ojek langganan saya saja, punya dua ponsel. Tidak mau kalah dengan tukang sayur dekat rumah yang menggunakan ponsel sebagai alat transaksi, Ibu saya bisa memesan sayuran yang ia inginkan dengan satu SMS singkat, esok pesanan sudah dibungkus dengan rapih. Betapa mudahnya hidup kita dengan teknologi.

Tapi apakah hidup dengan ponsel sudah cukup? Tidak. Coba saja tengok generasi sekarang yang menggunakan internet layaknya cemilan untuk menelan informasi yang mereka butuhkan kapan saja. Bahkan, Ayah saya, tidak akan mengira bahwa bihun ayam buatan saya minggu lalu adalah hasil menyontek internet, yang saya akses melalui ponsel kesayangan. Belum lagi tetangga saya yang sedang demam bisnis online melalui ponsel, setiap hari ia harus bolak balik ke kantor pos demi mengirim orderan. Berapa banyak, yang aktif menjadi pedagang di dunia maya? Saya rasa banyak. Bulan Oktober tahun lalu saja, jumlah pengguna internet naik dari 13 juta menjadi 55 juta.

Bagaimana jadinya, jika pengguna ponsel di dunia menggunakan listrik minimal satu jam setiap hari untuk mencharger ponsel mereka. Bisa jadi kita akan mengalami krisis listrik jika tidak pintar pintar berhemat. Ketakutan saya atas krisis listrik semakin menjadi ketika negara kita berencana mengimpor listrik dari Malaysa di tahun 2014 nanti. Jaman saya kecil, rasanya tidak pernah ada pemadaman listrik bergilir, tidak seperti sekarang. Tersirat dibenak saya, apa yang akan dilakukan Belanda sebagai sebuah negera maju yang terkenal inovatif. Apakah Belnada akan melakukan penghematan seperti kita? Saya rasa tidak. Benar saja dugaan saya, alih alih memadamkan listrik secara bergilir, Belanda malah menciptakan alat unik untuk mencharger ponsel tanpa listrik.

Belanda menunjukkan kreatifitas dengan menciptakan alat untuk mencharger ponsel dengan menggunakan tenaga angin, hemat listrik 100%. Desainer Belanda yaitu Pak Tjeerd Veenhoven, telah menciptakan produk bernama iFan yang ia ciptakan untuk mencharger ponsel iphone miliknya. Cara membuat iFan sangat minim biaya, cukup menggunakan kipas dari komputer bekas yang kemudian dimodifikasi dengan menambahkan kulit karet sebagai sambungan ke ponsel. Melalui tenaga angin, iFan bisa menghasilkan listrik, Pak Tjreed selalu membawa serta IFan menuju kota dengan bersepeda, ia kini tidak lagi cemas kehabisan baterai akibat terlalu lama di jalan.

 Berangkat dari kecemasan, Pak Tjreed mencari penyelesaian dengan berfikir di luar kotak. Think out of box, adalah salah satu ciri berfikir kreatif. Saya ingin sekali dipinjamkan iFan oleh Pak Tjreed. Saya bisa bersepada sambil mencharger ponsel saya, dengan begitu body mirip Miss Bette Franke bukan lagi mimpi. Jika listrik menjadi barang mewah, saya akan menelepon Pak Tjreed memohon agar ia mengirimkan iFan. Kini Pak Tjreed tengah mengembangkan iFan agar bisa digunakan untuk mencharger apa saja. Sebuah kabar gembira dari Belanda, negara kecil namun memiliki kotak berfikir yang maha besar. 



Sumber:  http://www.24oranges.nl/?s=ifan/2012
               http://tekno.kompas.com/read/2011/10/28/

                 




Sunday 13 May 2012

pil penenang dosis tinggi

aku lebih memilih untuk menulis daripada berbicara dengan mu, mengenai apa yang sedang terjadi dengan si penderita quater life crisis, macam aku ini. Aku merasa tidak ada satupun yang mengerti, kecuali Tuhan. Tidak ada satupun yang mendengarkan baik baik kecuali Tuhan, bahkan tidak juga dengan kamu meskipun aku sudah menceritakan secara gamblang dalam obrolan kita terakhir, bahwa aku mengharapkan kamu menjadi obat penenang. Sebenarnya, aku mengharapkan semua orang yang aku kenal bisa menjadi obat penenang saat aku sedang "sakit", tapi dari dulu peran aku tidak pernah berubah, Tuhan hanya menginginkan aku menjadi badut mereka, menjadi pil penenang mereka, tanpa mereka benar benar peduli bahwa aku adalah badut yang bisa sakit, sama sakitnya seperti mereka. 

Aku tahu, setiap badut juga butuh pil penenang saat "sakit". Tapi aku baru saja menyadari, bahwa aku adalah satu satunya badut yang tidak punya pil, aku layaknya badut kesepian. Aku tidak pernah meminta banyak dari kamu, yang sudah mengenal ku setahun lebih, teman terbaik sekaligus pacar menyenangkan. Aku hanya ingin kamu mengerti bahwa aku juga membutuhkan pil yang aku selalu berikan gratis kepada kamu, teman terdekat, dan keluarga. Pil yang sama ketika kalian semua membutuhkan support disaat sedang meragu dalam langkah hidup, ketika kalian membutuhkan kata-kata yang meninggikan yang kemudian membuat kalian bisa menemukan kepercayaan diri kalian kembali.Aku juga butuh itu.

Apakah, hanya aku yang diberikan keahlian dari Tuhan untuk bisa melihat keraguan dan ketidakpercayaan dalam diri kalian, bahwa kalian butuh ditinggikan selamanya tanpa menoleh sedikit pun ke wajah ku yang bisa kapan saja merasa terjatuh. Meskipun aku berteriak lantang bahwa aku badut yang sedang  "sakit", tapi apakah kamu benar benar mendengarkan? apakah aku terlalu berlebihan meminta kamu menjadi obat penenang yang aku butuhkan sesekali saja. Sesekali saja.



 

Ps: aku membutuh Pil dosis tinggi, Tuhan