Monday 18 June 2012

Goofy Versus Chaky part 1

 


 “So, I love you because the entire universe conspired to help me find you.”
Paulo Coelho, The Alchemist


“Berapa nomor mandiri”? aku bertanya panik. Setelah berulang kali melongok ke dalam tas coklat yang ku sandang, berkali kali memastikan bahwa dompet kulit dari Yogya telah benar benar hilang. Keringat mengucur di dahi ku, Jakarta mendadak panas sekali dan wajah dihadapan ku tak kalah membuat gerah.

Pria itu berdiri tegap di hadapan ku. Dengan enggan ia merogoh ponsel blackberry dari saku celana jeans abu-abu, jeans yang sepadan sekali dengan kemeja coklat yang ia kenakan hari itu, Sudah berbulan-bulan lamanya sejak aku memilihkan kemeja coklat itu untuknya, dengan hati-hati sekali, karena seleranya di luar nalar. Ia menolak kemeja motif kotak kotak karena menurutnya pasaran. Aku mengerutkan kening, menurut ku, baju itu mengikuti si pengguna, meskipun warna dan modelnya sama hasilnya akan berbeda beda, tergantung dari cara orang mempresentasikan diri yang sudah pasti berbeda. Terlihat sekali, betapa cara kami berfikir cukup bertolak belakang, perbedaan demi perbedaan kerap kali membuyarkan kedamaian, Kami tak habis-habisnya mengotot dalam perdebatan perdebatan panjang yang melelahkan.

Wajah kesalnya sore itu, membuat ku setengah tertawa dalam hati, membayangkan apa jadinya jika yang hilang bukan hanya dompet berisikan KTP dan ATM. Bisa jadi ia mengutuk saya, mengambil kesimpulan betapa bodohnya perempuan yang telah menemaninya selama setahun. Setelah membenamkan diri ke layar ponsel, ia menyodorkan blackberry putih itu kepada saya, sedetik menatap ke wajah saya lalu segera mengalihkan pandangannya, acuh tak acuh. Seketika, saya menatap pilu kearah pria berkemeja coklat, bertanya dalam hati kenapa ia seakan akan tidak peduli, sesulit itukah meluangkan menit untuk mencari nomor mandiri dari bb?.

Sambil menghela nafas, saya segera memainkan jari jari saya pada windows bbm, percuma saja mengharap dari pria berkemeja coklat itu, yang bahkan memandang saya saja keberatan. Saya mengetik pernyataan singkat pada teman di sebrang sana. “ATM gw raib lagi, hehe, cariin nomor mandiri cepet.” Secepat itu pula teman saya membalas, apakah ini pertanda Tuhan, bahwa ia yang di depan mata bahkan tidak peduli? Apakah kami memaksakan diri bertahan karena saling sayang, meskipun ketidakcocokan diantara kami seperti angin, tak kasat mata tetapi bisa di rasakan. Atau kami menikmati ketidakcocokan ini, Tuhan? Seperti es campur yang menyatu lantas menghasilkan rasa khas yang lezat.

Aku menarik tangan si kemeja coklat yang tengah sejurus pandang menatap kejauhan, mengajaknya mencari tempat duduk. Aku butuh pijakan dan senderan, Terlebih aku membutuhkan genggaman tangan, Sebuah obat penenang dosis tinggi di kala rentan. Lantas apa jadinya, jika si Sangunis ini bahkan telah padam menjadi si sangunis, si baby cheerfull telah kehilangan sifat sifat dasarnya yang mendarah daging. Hanya karena dominasi kemarahan seorang pria. Well, Aku tidak mendapatkan apa-apa selain tepisan tangan mu yang begitu angkuh, tapi…biar saja. Tidak masalah.


No comments:

Post a Comment